JOMBANG, TelusuR.ID – Praktisi hukum sekaligus dosen Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, Dr. Solikhin Rusli, SH., MH., angkat suara terkait mandeknya penanganan kasus dugaan korupsi dana desa dengan tersangka NM, yang sekarang merupakan anggota DPRD Jombang. Kasus ini telah mengendap selama satu dekade tanpa kejelasan status hukum, meski berkasnya pernah mendapat catatan (P-19) dari pihak kejaksaan.
Dr. Solikhin menegaskan bahwa kasus korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, sehingga tidak bisa disamakan dengan tindak pidana biasa yang mengenal daluwarsa.“Saya berharap penyidik segera menindaklanjutinya,” tegasnya, Sabtu (11/10/2025).
Sebagai seorang praktisi hukum, saya memandang mandeknya penanganan kasus korupsi dana desa selama lebih dari satu dekade sebagai bentuk ketidak seriusan dalam penegakan hukum dan keadilan.
Fakta bahwa kasus ini telah berlangsung selama 10 tahun tanpa kejelasan status hukum merupakan tamparan keras terhadap prinsip due process of law dan mencerminkan adanya potensi konflik kepentingan, intervensi kekuasaan, atau lemahnya komitmen aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi yang menyentuh elite politik daerah.
Menurutnya, jika pihak kejaksaan sudah memberikan statusP-19, maka penyidik seharusnya segera melengkapinya, bukan membiarkannya menggantung tanpa kejelasan hingga bertahun-tahun.
“Kalau memang penyidik kesulitan mencari alat bukti, ya segera SP3. Kalau tidak memenuhi syarat, hentikan. Tapi jangan digantung seperti ini. Yang bersangkutan juga berhak atas kepastian hukum dan diperlakukan dengan adil,” ujarnya,
Dr. Solikhin menekankan bahwa kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Aparat penegak hukum wajib memberikan kejelasan apakah perkara ini akan dilanjutkan atau dihentikan.
Negara harus hadir dan menunjukkan bahwa hukum bekerja untuk semua, terutama dalam melindungi kepentingan rakyat kecil. Membiarkan kasus ini terus mengambang hanya akan memperkuat persepsi publik bahwa hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
“Kalau memang cukup bukti, segera naikkan ke penuntutan. Kalau masih kurang, lengkapi. Tapi masa 10 tahun tidak bisa dilengkapi? Kalau terpaksa tidak bisa, ya SP3 saja. Jangan biarkan nasib orang tanpa kejelasan,” tandasnya.
Ia menilai, kondisi ini bukan sekadar soal prosedural, tetapi juga menyangkut kehormatan dan hak asasi individu yang bersangkutan “Ini menyangkut label dan kehormatan seseorang. Kalau tidak cukup bukti, hentikan. (Rat)



