APBD Jombang Sebesar Rp 3 T Belum Dirasakan Langsung Oleh Rakyat

0
30 views
Bagikan :

JOMBANG, TelusuR.id – Pemerhati Ekonomi Kebijakan Anggaran Publik dan Pemerintahan, Bustanus Salatin menyoroti Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jombang.

Hal itu ditengarahi nilai APBD Kabupaten Jombang yang mencapai Rp 3 triliun tersebut, tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat menyeluruh dan belum bisa dirasakan langsung oleh rakyat.

APBD Jombang tahun 2025 memiliki total anggaran sebesar Rp 3.025 triliun. Anggaran ini telah disetujui oleh DPRD Jombang dan diundangkan sebagai Perda.

Menurutnya, pembangunan Jombang stagnan dalam beberapa tahun terakhir. APBD lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi ketimbang rakyat.

“APBD Jombang lebih banyak habis untuk birokrasi daripada pembangunan,” ujar Bustanus Salatin, Kamis (05/06/2025).

Data menunjukkan, belanja pegawai mencapai 46,58% dari total APBD. Angka ini jauh di atas batas ideal nasional yang hanya 30%. Belanja barang dan jasa tercatat 30,1%, sementara standar efisiennya hanya memperbolehkan maksimal 10%.

Sebaliknya, belanja modal yang seharusnya langsung menyentuh kebutuhan masyarakat justru minim, bahkan sering tak mencapai 20%. Padahal, menurut aturan (UU No. 1 Tahun 2022 dan Permendagri No. 15 Tahun 2024), minimal belanja modal adalah 30%.

Salatin mencontohkan, banyak petani tembakau yang protes, banjir terus terjadi, dan jalan rusak di mana-mana. Ia menduga, persoalan ini tak lepas dari indikasi korupsi yang bermula sejak perencanaan anggaran.

“Masalahnya bukan hanya di pelaksanaan proyek, tapi sejak penentuan proyeknya. Di situlah celah adanya korupsi bermula,” tuturnya.

Lebih jauh, Pria Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) membeberkan berdasarkan laporan seknas FITRA juga menyebut, anggaran kerap disusupi proyek titipan, pemborosan, dan mark-up tersembunyi di pos belanja barang dan jasa.

Dampaknya terasa di ekonomi lokal. Minimnya belanja publik menyebabkan infrastruktur stagnan. Investor enggan masuk, sektor UMKM dan pertanian terbengkalai, serta pertumbuhan ekonomi nyaris jalan di tempat.

“Tak ada lonjakan investasi, penyerapan tenaga kerja pun lesu. Sektor riil juga tidak bergerak,” tandasnya.

Salatin juga menyoroti lemahnya kinerja OPD dan pengawasan DPRD. Banyak program tak punya arah jelas, tak selesai tepat waktu, dan tidak berdampak nyata.

“Saya menduga ada politik dagang sapi antara DPRD dan birokrasi,” katanya.

Tinggalkan Balasan