Bukan Soal Antitesis Jokowi, Rizal Ramli : Saatnya Tinggalkan Pencitraan dan Feodal

0
224 views
Bagikan :

SURABAYA, TelusuR.ID – Setiap zaman ada pemimpinnya, ini berlaku dalam estafet kepemimpinan . Contohnya, setelah 10 tahun jadi Presiden, rakyat mulai bosan terhadap gaya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terlalu rapi, terukur dan jaim.

Siapapun Presiden di negara manapun, setelah 10 tahun orang akan bosan, ingin mencari antitesis.

Tokoh nasional Rizal Ramli (RR) mengisahkan, adalah Karim Raslan, ahli strategi komunikasi Malaysia (Ibu Inggris, Bpk Malaysia) keliling Indonesia untuk mencari anti-thesis SBY, ketemulah walikota Solo Jokowi. Antitesis dalam posture, style, pemikiran, lingo, dan sebagainya.

Karim lah yg mempromosikan Jokowi di media-media internasional sebagai calon pengganti SBY. Seperti biasa, media – media nasional langsung menjadi “followers”.

“Mulai saat itulah Jokowi booming. Apa lagi didukung oleh mayoritas Pollsters dan Influencers,” kata Rizal Ramli dalam keterangannya, Ahad (5/3/2023).

Pertanyaannya hari ini siapa antitesis Jokowi ? Apakah Anies Baswedan (AB) seperti yang pernah disampaikan politikus NasDem, Zulfan Lindan atau AB hanya sintesis Jokowi ? Yang jelas antitesis itu harus terlihat dalam bentuk substansi, posture, gestur, gaya, lingo dsb.

RR mengaku dengan sadar memang memilih untuk jadi antitesis Jokowi. Baik karena secara alamiah memang tidak suka dengan basa-basi, apa adanya (candid), to-the-point, kritis tapi selalu solutif karena percaya itulah yg dibutuhkan oleh rakyat hari ini.

RR juga dengan sengaja memilih bahasa dan lingo yang agak urakan, memancing pertukaran pikiran. Tidak jaim karena memamg tidak suka jaim, just be myself. Tentu ada resikonya, elit feodal yang berlapis baju kesantunan akan tidak suka.

“Tapi coba cek di Jawa Timur, pantau Jawa Tengah bagian Utara, Jawa Barat, Maluku, Sulawesi, Sumatera, ternyata happy saja. Banyak yang senang dengan gaya apa adanya RR. Tapi saya memang sulit diterima di kalangan feodal Solo dan Selatan Jawa Tengah,” ujar Menko Perekonomian Era Presiden Abdurrahman Wahid ini.

RR mengungkapkan, Almarhum Buya Syafi’i Maarif sering sekali menasehati dirinya supaya lebih ‘Njawani’. Namun RR menjawab dengan gamblang.

“Maaf Buya ndak bisa, kalau nyoba-nyoba akan keliatan palsunya,” imbuh Ekonom senior itu.

Rizal juga menceritakan, sering kali Perdana Menteri Singapora Lee Kwan Yew ke Jakarta, pasti ngajak makan malam dirinya. Terakhir kali ke Indonesia, Pak Lee undang ia makan malam di Shangrilla. Rizal pun memberanikan bertanya. “ Pak Lee kok ngomong terlalu terus terang, apa adanya, terlalu candid ? Apa tidak takut tidak populer ?”.

Jawaban Pak Lee: “Saya harus bicara apa adanya supaya rakyat mengerti, masalah, solusi dan resikonya. Ndak populer ndak apa-apa, rakyat baru akan berterima kasih kepada saya setelah melihat hasilnya,” katanya.

Mantan Komisaris Utama Semen Gresik ini mengatakan, pemimpin – pemimpin Asia yang berhasil menjadi transformer bangsanya ternyata memiliki kesamaan. Mereka semua bicara apa adanya, tidak banyak kembang atau candid.

“Contohnya, Gubernur DKI Ali Sadikin, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Singapore Lee Kwan Yew, Perdana Mentri China Zhu Rong Yi dan PM Thailand Thaksin Sinawatra. Semua pemimpin-pemimpin hebat di masanya,” tutur RR.

Menurut RR, sudah waktunya bangsa ini meninggalkan kembang – kembang pencitraan dan sifat – sifat feodal.

“Mari kita dorong kompetisi kepemimpinan Indonesia yang berdasarkan integritas (amanah), visi dan strategi perbaikan, track record dan kapasitas problem-solving. Barulah Indonesia makmur dan berjaya,” pungkas sahabat dekat Gus Dur tersebut. (*)

Tinggalkan Balasan