20 M Swakelola DPUBM Jatim Disinyalir Rentan Praktik Korupsi

0
235 views
foto/image by harapan rakyat online
Bagikan :

SURABAYA, TelusuR.ID   –   Belanja Swakelola Dinas PU Bina Marga (DPUBM) Jatim tahun anggaran 2021 diduga menyimpang dari ketentuan. Tidak tanggung-tanggung, pagu swakelola yang terduga menyimpang itu mencapai kisaran Rp 20 milyar.

Hingga ini ditulis, belum di dapat konfirmasi kenapa praktik seperti itu bisa berlangsung. Data yang dihimpun menyebutkan, pagu Rp 20 milyar itu merupakan gabungan dari sejumlah kegiatan swakelola.

Antara lain belanja mamin (makanan dan minuman), belanja konsultansi, belanja BBM (Bahan Bakar dan Pelumas), belanja bahan material dan konstruksi, belanja ATK, belanja pakaian, belanja materai, belanja foto copy, belanja sewa alat, dan swakelola yang lain.

Dari sejumlah itu, kebutuhan mamin mencapai kisaran Rp 1,2 milyar. Pakaian dinas (PDH maupun batik) mencapai kisaran Rp 2 milyar. BBM mencapai kisaran Rp 3,4 milyar. Serta sejumlah swakelola lain seperti ATK, foto copy, konsultansi dan seterusnya, yang masing-masing hanya menembus angka ratusan juta rupiah.

Dari sekian itu, yang terbilang menonjol adalah belanja sewa alat bantu serta belanja bahan bangunan dan konstruksi. Antaralain paket dengan kode RUP 26855434, bertajuk belanja sewa alat bantu lainnya, dengan pagu Rp 1,2 milyar.

Kemudian paket dengan kode RUP 25555350, bertajuk belanja bahan bangunan dan konstruksi UPT PJJ Pamekasan Korwil 1 (Pamekasan dan Sumenep), dengan pagu Rp 4,4 milyar. Serta kode RUP 26855407, bertajuk belanja bahan-bahan bangunan dan konstruksi, dengan pagu mencapai Rp 5,7 milyar.

Sumber berlatar pegiat LSM menilai, paket swakelola DPUBM Jatim tahun anggaran 2021 yang menembus pagu hingga Rp 20 milyar itu dianggap menyimpang karena tercatat dilaksanakan dengan metode swakelola tipe 1.

“Merujuk data sirup LKPP 2021, sejumlah paket tersebut ternyata dilaksanakan dengan swakelola tipe 1. Ini jelas tidak masuk akal dan berpotensi menyimpang dari ketentuan, “tegasnya kepada TelusuR.ID.

Ia lantas menyitir ketentuan lampiran Peraturan Kepala LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah) Nomer 3/2021 sebagai pengganti Peraturan LKPP Nomer 8/2018 tentang pedoman swakelola.

Pada bab pendahuluan angka 1.2 Lampiran Perlemb tersebut ditegaskan, tuturnya, bahwa yang dimaksud dengan swakelola adalah cara memperoleh barang dan jasa yang dikerjakan sendiri oleh KLPD (Kementerian, Lembaga, Perangkat ) dan KLPD lain, serta Ormas dan Pokmas.

Sedang pasal 5 huruf a Peraturan yang sama menegasakan, lanjutnya, bahwa yang dimaksud dengan swakelola tipe 1 adalah swakelola yang direncakan, dilaksanakan, serta diawasi oleh KLPD sebagai penanggungjawab anggaran.

“Maksud dari frasa kalimat “dilaksanakan” itu artinya tidak boleh melibatkan pihak ketiga atau penyedia. Padahal swakelola dengan pagu Rp 20 milyar itu seluruhnya diperoleh dengan cara beli dari pihak ketiga atau pasar, lalu kenapa disebut swakelola tipe 1? “bantahnya.

Ia pun menilai bahwa paket swakelolatipe 1 DPUBM Jatim tahun anggaran 2021 yang mencapai kisaran pagu Rp 20 milyar itu seharusnya masuk paket penyedia (Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, atau Tender, red).

“Sebut saja misalnya paket belanja makanan dan minuman. Jika itu dilakukan swakelola tipe 1, maka pihak DPUBM Jatim harus menyediakan mamin dengan cara memasak sendiri. Misalkan itu dimungkinkan, maka pertanyaannya apakah DPUBM Jatim punya kompetensi sebagai juru masak? “.

“Juga pada paket belanja bahan bangunan dan konstruksi. Jika itu dilangsungkan lewat swakelola tipe 1, maka pertanyaannya, bagaimana DPUBM menyediakan barang seperti batu belah, pasir pasang, besi beton, dan seterusnya? Jika faktanya barang dibeli dari pihak ketiga, lalu kenapa disebut swakelola tipe 1? “timpalnya tidak habis pikir.

Ia pun menilai bahwa dugaan penyimpangan terjadi lebih merupakan modus untuk mengeruk keuntungan pribadi dibanding sebentuk kelalaian administrasi biasa. Ia meyakini bahwa kecakapan sumber daya manusia DPUBM Jatim tidak mungkin bisa kecolongan untuk hal sepele seperti itu.

“Saya melihat praktik ini lebih sebagai bentuk kesengajaan dibanding kelalaian administrasi biasa. Motifnya jelas mengarah pada keuntungan pribadi. Pada kasus ini, saya melihat pihak penentu paket sepertinya cukup paham akan perbedaan swakelola tipe 1 dan paket penyedia, “tuturnya.

Sumber lantas menyebut ada sejumlah keuntungan jika paket dilangsungkan lewat swakelola tipe 1. Antaralain terciptanya ruang transaksi yang mudah dimanipulasi karena tanpa kehadiran pihak rekanan. “Termasuk didalamnya soal cash back atau potongan harga, dan itu sudah menjadi rahasia umum, “ucapnya.

Hal itu sangat berbeda jika paket dilangsungkan lewat Pengadaan Langsung (pagu diatas Rp 50 juta) atau tender (pagu diatas Rp 200 juta). Selain terikat mekanisme yang terbilang ketat dan terbuka, tutur sumber, penentuan harga juga bergantung pada penawaran pihak rekanan. Lalu, bagaimana tanggapan pihak DPUBM Jatim? (din).

Tinggalkan Balasan