Siasat Untuk Pelanggengan Kursi

0
225 views
Bagikan :

JOMBANG, TelusuR.ID      –      Menapaki awal 2022, tepat pada 3 Januari, Bupati Jombang tercatat menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Jombang Nomer 5 Tahun 2022 tentang Perubahan Ketiga Atas Perbup 60/2017 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) Nomer 6/2017 Tentang Hak Keuangan Dan Administratif Pimpinan Dan Anggota DPRD Jombang.

Perbup 5/2022 yang tarikannya merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomer 18/2017 tentang Hak Keuangan Dan Administratif Pimpinan Dan Anggota DPRD sebagaimana telah dirubah dengan PP 1/2023 itu berisikan ragam tunjangan bagi personil DPRD Jombang. Diantaranya adalah tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi.

Dalam Perbup ini, tunjangan perumahan untuk Ketua Dewan dipatok Rp 29.200.000 per bulan, Wakil Ketua Dewan Rp 21.800.000 per bulan, serta Anggota Dewan Rp 18.800.000 per bulan. Sedang besaran tunjangan transportasi untuk setiap anggota Dewan dipatok Rp 12.900.000 per bulan.

Angka ini terjadi kenaikan dari periode sebelumnya. Dimana tunjangan Ketua Dewan adalah Rp 27.600.000 per bulan pada 2020 dan Rp 18.900.000 per bulan pada 2017. Wakil Ketua Dewan Rp 20.400.000 per bulan pada 2020 dan Rp 14.000.000 per bulan pada 2017. Sedang Anggota Dewan Rp 12.700.000 per bulan pada 2020 dan Rp 8.500.000 per bulan pada 2017.

Sementara besaran tunjangan transportasi untuk setiap anggota Dewan masing-masing adalah Rp 8.470.000 per bulan pada tahun 2017, lalu merangkak ke angka Rp 9.700.000 per bulan pada tahun 2020, dan naik lagi ke angka Rp 12.900.000 pada tahun 2022.

Dengan demikian sejak 2022, setiap tahun duit rakyat tersedot untuk tunjangan perumahan sebesar Rp 11.521.200.000 dan tunjangan transportasi sebesar Rp 7.120.800.000. Selama Perbup 5/2022 tidak terjadi perubahan, tegas Sumber, maka setiap tahun kedua item tunjangan menyedot duit rakyat sebesar Rp 18,4 milyar.

Secara konstruksi hukum, tutur Sumber, terbitnya Perbup 5/2022 tidak ada yang salah. Ini karena PP 18/2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD sebagaimana telah dirubah dengan PP 1/2023 sebagai konsideran, telah mematok sejumlah ketentuan.

Diantaranya pasal 9 ayat 2 dan 3. Dimana selain menerima tunjangan kesejahteraan lain, Pimpinan DPRD disediakan tunjangan kesejahteraan berupa: (1) rumah negara dan perlengkapannya, (2) kendaraan dinas jabatan, (3) belanja rumah tangga. Sedang tunjangan untuk anggota DPRD berupa: (1) rumah negara dan perlengkapannya, serta (2) tunjangan transportasi.

Selanjutnya, pasal 15 ayat 1 dan 2 menegaskan, dalam hal Pemerintah Daerah belum dapat menyediakan rumah negara dan kendaraan perorangan dinas bagi Pimpinan dan Anggota DPRD, kepada yang bersangkutan diberikan tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi.

Namun demikian, tegas Sumber, PP 18/2017 tidak mengatur soal besaran tunjangan. Yang dibatasi adalah soal semangat dan koridor. Pasal 17 ayat 1 dan 2 hanya menegaskan bahwa besaran tunjangan ditentukan berdasarkan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat, serta sesuai standar satuan harga sewa rumah dan kendaraan yang berlaku pada rumah negara dan kendaraan perorangan dinas.

Maka pertanyaannya adalah, tegas Sumber, apakah besaran tunjangan perumahan Rp 29.200.000 per bulan untuk Ketua Dewan, Rp 21.800.000 per bulan untuk Wakil Ketua Dewan, Rp 18.800.000 per bulan untuk anggota Dewan, serta tunjangan transportasi Rp 12.900.000 per bulan itu sudah sesuai dengan amanat PP?

Sejauh ini belum diketahui darimana angka-angka itu muncul. Juga belum diketahui, besaran tunjangan perumahan dan transportasi yang terbilang fantastis itu sudah melibatkan apprasial atau belum. Hingga ini ditulis, Jumat (26/5/2023), konfirmasi dari Pemkab belum berhasil dikantongi.

Diluar itu, tegas Sumber, hal lebih prinsip yang layak dikemukakan adalah, kenapa Pemkab lebih memilih opsi pemberian tunjangan dibanding penyediaan rumah negara dan kendaraan perorangan dinas bagi DPRD? Pilihan itu, tutur Sumber, menjelaskan bahwa Pemkab tidak mampu menyediakan kedua fasilitas dimaksud. Benarkah Pemkab tidak mampu?

“Jika status “tidak mampu” hanya sebentuk klaim sepihak, maka yang terjadi adalah inefisiensi anggaran. Saya khawatir, Perbup beserta angka-angkanya dibuat hanya untuk kompromi politik. Jika itu yang terjadi, maka munculnya Perbup tidak lebih dari siasat untuk melanggengkan kursi kekuasaan, “ujarnya. (Laput/din)

 

Tinggalkan Balasan