Presiden Soeharto: Pahlawan Nasional dan Rel Reformasi
Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 08/11/2025
TelusuR.ID – Gerakan Reformasi 1998 lahir sebagai manifestasi perubahan jiwa zaman (Zeitgeist). Praktik politik Orde Baru—seperti pembatasan jumlah partai politik hanya tiga, tanpa batas masa jabatan presiden, pembangunan terpusat (sentralisasi), dan dwifungsi ABRI—dipandang tidak lagi sesuai dengan aspirasi demokrasi partisipatif, profesionalisme pemerintahan, dan otonomi daerah.
Konsep Zeitgeist menegaskan bahwa perubahan sosial-politik merupakan respons alami masyarakat terhadap dinamika nilai, norma, dan ekspektasi baru. Reformasi tidak bisa dipisahkan dari konteks historis dan aspirasi generasi reformis.
Rezim Orde Baru sendiri berpijak pada konstitusi yang dibuat generasi awal perumus UUD 1945. Orde Baru konsisten melaksanakan konstitusi; tidak mengubahnya, dan tidak melanggarnya.
Agenda reformasi yang diusung pada 1998 pun telah direalisasikan secara substantif:
Pertama, pemberantasan KKN dan reformasi hukum. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tahun 2002 dan pembentukan KPK menjadi bukti konkret upaya negara menindak korupsi secara independen. Kinerjanya dalam pemberantasan korupsi patut diapresiasi.
Walaupun ada indikasi kuat bahwa KKN lebih marak terjadi di berbagi sektor pada era reformasi. KKN pada era Orde Baru lebih bisa dikendalikan dibanding era reformasi.
Kedua, pembukaan sistem politik yang lebih inklusif. Penghapusan pembatasan tiga partai politik dan penerapan sistem multi-partai memungkinkan pluralitas politik yang lebih luas. Hal ini meningkatkan representasi masyarakat di parlemen dan mendorong dinamika demokrasi yang lebih sehat, sejalan dengan prinsip demokrasi deliberatif.
Ketiga, pembatasan masa jabatan presiden melalui amandemen UUD 1945. Langkah ini menegaskan prinsip checks and balances, mencegah dominasi eksekutif, dan memperkuat demokrasi konstitusional. Meskipun berarti melakukan amandemen konstitusi, langkah ini sejalan dengan teori institusionalisasi demokrasi yang menekankan pembatasan kekuasaan sebagai fondasi stabilitas politik.
Keempat, penghentian dwifungsi ABRI. Pemisahan militer dari politik dan administrasi sipil meningkatkan profesionalisme militer dan netralitas lembaga keamanan. Sesuai teori sipil-militer (civil-military relations) yang dikembangkan Huntington dan Janowitz.
Kelima, desentralisasi melalui otonomi daerah. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 memberi daerah kewenangan fiskal dan kebijakan sesuai kebutuhan lokal. Meningkatkan kualitas layanan publik, partisipasi masyarakat, dan efektivitas pembangunan. Selaras dengan teori fiscal federalism dan decentralization.
Semua bukti ini menunjukkan tuntutan reformasi telah ditindaklanjuti dengan perubahan institusional nyata. Bukan sekadar retorika.
Namun, hujatan terhadap Presiden Soeharto tetap menjadi arena simbolik politik (symbolic politics/political performativity). Dalam bahasa kontemporer, ini sering disebut sebagai “Pansos Politik”. Figur Presiden Soeharto yang karismatik dan kuat membuat siapa pun yang berani menentangnya tampak berani dan berprinsip. Menghujatnya sering diposisikan sebagai bukti keberanian reformis.
Presiden Soeharto bahkan dijadikan isu pelarian (scapegoating) bagi sejumlah aktor politik reformasi. Misalnya, isu korupsi Orde Baru sering dimobilisasi sebagai kampanye moral, sementara kegagalan reformasi birokrasi atau penegakan hukum oleh pejabat baru, jarang menjadi sorotan.
Fenomena ini relevan dengan teori agenda-setting, di mana fokus publik dapat dialihkan dari isu substantif ke narasi simbolik yang lebih mudah dipahami. Kritik terhadap Presiden Soeharto kadang dimanipulasi sebagai alat pencitraan politik (pansos) atau pengalihan perhatian dari kegagalan era reformasi.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto dapat berfungsi sebagai alat strategis untuk menyeimbangkan sejarah dan reformasi. Pengakuan resmi terhadap jasa pembangunan dan stabilitas ekonomi pada era Orba seperti proyek Trans-Sumatera, pembangunan irigasi nasional, dan kebijakan stabilisasi harga pangan—mengurangi risiko politisasi kritik. Sekaligus mengembalikan fokus reformasi pada agenda substantif. Mengembalikan reformasi pada relnya.
Reformasi dapat kembali menekankan pemberantasan KKN melalui KPK, penegakan hukum, perbaikan kelembagaan, dan otonomi daerah, alih-alih terjebak pada pertarungan simbolik atau pencitraan politik dengan menggunakan justifikasi ilusi kejahatan Presiden Soeharto.
Dari perspektif teori legitimasi (legitimacy theory) dan transitional justice, pengakuan terhadap figur Presiden Soeharto—dengan catatan sejarah yang utuh—memungkinkan keseimbangan antara penghargaan atas jasa pembangunan dan kesadaran terhadap kelemahan sistem masa lalu. Politik simbolik dan performativitas (pansos politik dengan menghujat) dapat dikendalikan. Dengan demikian, gerakan reformasi tidak dibajak oleh motif pribadi, isu pengalihan tanggung jawab, atau politisasi simbolik. Isu atau intrik politik yang menyebabkan agenda kebangsaan terbengkali.
Sejarah dan reformasi tidak harus bertentangan. Mengakui jasa Presiden Soeharto tidak menghapus agenda reformasi. Sebaliknya, pengakuan tersebut memperkuat reformasi dengan menutup arena simbolik yang rawan dibajak. Mencegah isu terkait Presiden Soeharto dijadikan pelarian dari kegagalan pejabat reformasi. Memastikan fokus kembali ke perbaikan kelembagaan (institutional reform), penegakan rule of law, demokrasi substantif, serta pemerintahan partisipatif.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional menjadi instrumen strategis untuk menyeimbangkan moralitas sejarah, legitimasi politik, dan arah reformasi substantif di Indonesia. Sehingga generasi mendatang dapat menilai sejarah secara objektif dan melanjutkan pembangunan demokrasi secara konsisten.
(rohmanfth@gmail.com)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan TelusuR.ID terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi TelusuR.ID akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.



