Berhenti Menyematkan Guru Profesi Mulia! Membongkar Retorika dan Menggugat Keadilan

0
14 views
Gambar ilustrasi by Alharaki.sch.id
Bagikan :

Berhenti Menyematkan Guru Profesi Mulia! Membongkar Retorika dan Menggugat Keadilan

Oleh: Penawali (Penulis dan Aktivis Pendidikan)
—-

TelusuR.ID – Seringkali kita mendengar kalimat, “guru itu profesi mulia.” Ungkapan itu terdengar indah, seakan doa yang tulus dan penghormatan yang mendalam. Namun demikian, kenyataannya, istilah “mulia” justru lebih sering menjadi jebakan retorika ketimbang penghormatan sejati.

Guru dimuliakan dalam pidato, tapi ditelantarkan dalam anggaran. Mereka diagungkan dalam kata, tapi dipinggirkan dalam kebijakan. Secara dialektis, bila profesi guru benar-benar mulia, mestinya negara menunjukkan kemuliaan itu dengan kompensasi yang memadai, bukan dengan retorika penghiburan.

Ironi itu semakin jelas saat membandingkan kenyataan di lapangan. Banyak guru honorer hanya menerima Rp500 ribu sampai Rp1 juta per bulan, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk biaya hidup layak di kota kecil sekalipun. Sementara itu, pejabat negara tidak pernah merasa gaji dan tunjangannya perlu diperdebatkan.

Janji politik pun kerap menambah kekecewaan. Presiden dan Menteri Pendidikan pernah menyampaikan janji “tambahan satu kali gaji pokok untuk guru ASN dan Rp2 juta untuk guru honorer per bulan”¹. Namun realitasnya hanyalah pergantian istilah tunjangan profesi guru (TPG), bukan peningkatan riil. Padahal TPG sudah berjalan puluhan tahun, dan nilainya tetap rendah karena hanya mengacu pada gaji pokok yang juga rendah².

Jika kita menilik APBN, secara konstitusi negara mewajibkan 20% anggaran untuk pendidikan. Namun realisasi tahun 2022–2024 hanya berkisar 15–17%³. Bahkan sebagian besar dana itu bukan langsung dialokasikan ke gaji guru, melainkan ditahan dalam pos pembiayaan seperti LPDP atau dialihkan ke program lain seperti Makanan Bergizi Anak (MBG)⁴. Penting memang, tetapi bukan mandat utama dari alokasi pendidikan. Maka, sekali lagi guru menjadi korban “pencitraan” kebijakan.

Kita perlu berani membandingkan kondisi ini dengan negara-negara lain. Di Singapura, guru bisa memperoleh sekitar Rp46 juta per bulan di distrik Serangoon⁵. Di Korea Selatan, gaji guru pemula rata-rata setara Rp25–30 juta per bulan. Bahkan di Malaysia, guru mendapat Rp12–15 juta per bulan, lebih tinggi dari rata-rata Indonesia⁶. Bandingkan dengan Indonesia: rata-rata gaji guru ASN hanya sekitar Rp9,4 juta per bulan, berdasarkan analisis tahun 2025⁷. Tragisnya, angka itu masih di bawah rata-rata upah pekerja nasional, yaitu Rp12,5 juta per bulan⁸.

Artinya, kita sedang hidup dalam paradoks. Negara dengan sumber daya alam melimpah justru membayar gurunya lebih rendah dibanding negara tetangga dengan sumber daya lebih kecil. Lalu, di mana letak keadilan itu? Bagaimana mungkin kita berharap “Indonesia Emas 2045” akan terwujud jika pondasi emasnya—yaitu guru—dibangun di atas tanah rapuh bernama upah rendah?

Sudah saatnya kita berhenti menyematkan kata “mulia” tanpa bukti nyata. Kemuliaan bukanlah simbol yang cukup diucapkan dalam seremoni Hari Guru. Kemuliaan adalah tindakan, dan tindakan paling sederhana adalah memberi upah layak.

Untuk itu, solusi kebijakan harus segera ditata ulang. Pertama, gaji pokok guru ASN mesti dinaikkan ke standar layak hidup, setidaknya Rp15–20 juta per bulan. Dengan dasar itu, barulah Tunjangan Profesi Guru (TPG) diberlakukan sebagai tambahan 50–100% dari gaji pokok, bukan sekadar tambalan semu.

Kedua, guru honorer harus dilindungi dengan standar minimal Rp5–7 juta per bulan, agar mereka tidak lagi menjadi pekerja murah yang dieksploitasi. Insentif ini bisa ditanggung melalui dana transfer daerah khusus pendidikan, yang dialokasikan langsung tanpa melewati birokrasi berbelit.

Ketiga, alokasi APBN pendidikan perlu dikunci: minimal 40% dari anggaran pendidikan nasional harus dialirkan ke gaji dan tunjangan guru. Hanya dengan cara ini, janji konstitusi tidak lagi jadi retorika kosong, tetapi nyata dirasakan guru di ruang kelas.

Keempat, benchmark internasional harus dijadikan cermin. Jika Singapura bisa menjadikan gaji guru setara dengan dokter atau insinyur, mengapa Indonesia tidak bisa? Jika Malaysia bisa membayar lebih layak dengan sumber daya lebih terbatas, mengapa Indonesia tidak berani?

Kelima, kebijakan ini harus ditata jangka panjang. Periode 2025–2030 sebagai era penataan gaji pokok; 2030–2040 sebagai era peningkatan berbasis prestasi; dan 2040–2045 sebagai era puncak, menjadikan profesi guru kelas utama sejajar dengan profesi strategis lain.

Semua langkah ini bukan sekadar tuntutan kesejahteraan, melainkan investasi masa depan. Sebab guru adalah pabrik akal bangsa. Dari tangan mereka lahir generasi emas atau justru generasi tumpul. Jika kesejahteraan mereka diabaikan, maka visi Indonesia Emas 2045 hanyalah jargon politik, bukan realitas.

Dialektika ini sederhana, bahwa jika guru mulia, maka mulialah perlakuan terhadapnya. Jika guru disebut pahlawan, maka pahlawan itu harus diberi senjata berupa kesejahteraan. Jika bangsa ini ingin maju, maka majukanlah dulu mereka yang setiap hari mengasuh akal anak bangsa.

Akhirnya, berhentilah menyematkan guru sebagai profesi mulia jika kemuliaan itu hanya berhenti di mulut pejabat. Mari kita bongkar retorika dan menggugat keadilan. Saatnya mulia tidak hanya di seremoni, tetapi juga di slip gaji. Karena hanya dengan begitu, guru akan benar-benar menjadi pilar emas menuju Indonesia Emas 2045.
—-

Catatan Kaki:

¹ Janji Presiden dan Menteri Pendidikan: tambahan satu kali gaji pokok untuk guru ASN dan Rp2 juta untuk guru honorer. (Laporan media pendidikan, 2023).
² Tunjangan Profesi Guru (TPG) mengacu pada gaji pokok rendah dan tidak pernah mengalami peningkatan signifikan. (Kemendikbudristek, 2024).
³ Indonesia Business Post, “Finance minister defends fluctuating education budget allocation…” (2024).
⁴ VOI, “MBG’s Portion in the Education Budget Betrays the Constitution,” 27 Agustus 2025.
⁵ Tempo, “Indonesian Teacher Salaries vs. Southeast Asia: A Comparison,” 3 September 2025.
⁶ OECD Education at a Glance Report, 2024.
⁷ WorldSalaries, “Average Teacher Salary in Indonesia,” 2025.
⁸ Empleyo, “Average Salary in Indonesia (2025).”
—-

💪💚🖤👉🇲🇨

 

 

 

 

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan TelusuR.ID terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi TelusuR.ID akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Tinggalkan Balasan