Bendera kita punya cerita. Bukan buat gaya
Opini Oleh : Hasan Nasbi
JAKARTA, TelusuR.ID – Hari Kamis, 7 september 1944 di Tokyo, Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso mengucapkan sebuah janji untuk memerdekakan Indonesia. Negaranya sedang terpojok dalam perang pasifik raya. Jepang butuh dukungan penuh dari segenap rakyat di wilayah yang sedang mereka duduki. Lalu keluarlah sebuah janji kemerdekaan dalam sidang Teikoku Ginkai ke 85..
Janji ini sejatinya sebuah propaganda. Mereka harus memperlihatkan niat baik agar dapat dukungan lahir batin dari rakyat Indonesia. Maka janji Koiso tadi adalah ultimate propaganda yang bisa mereka berikan.
Tapi bagi para pejuang republik, mau berupa propaganda sekalipun, tekad untuk bisa merdeka semakin tidak terbendung. Ibu pertiwi jelas sekali sedang hamil tua. Meski tak tau kapan waktunya, tapi kelahiran Republik Indonesia adalah sebuah kepastian. Maka berbagai persiapan dibuat. Termasuk membuat panitia persiapan untuk simbol dan bendera negara.
Adalah Ibu Fatmawati Soekarno, istri dari Bung Karno, yang bergerak cepat. Usianya saat itu baru 21 tahun. Jauh lebih muda dibanding orang-orang yang hari ini mencoba mempropagandakan bendera selain merah putih di bulan kemerdekaan.
Bu Fatmawati tentu tidak tahu kapan persisnya Indonesia akan merdeka. Alam pikirannya terbentuk sebagai seorang Ibu. Jangan sampai republik lahir tanpa ada bendera. Jadi pembuatan bendera nasional tak boleh ditunda.
Saat itu tidak mudah mendapatkan kain katun berwarna merah. Selain tak lazim, seluruh arus impor dan ekspor barang masih dikontrol oleh Jepang.
Bung Karno melobi tentara Jepang. Kalau Janji Koiso itu tulus, bantu dong kami mendapatkan kain berwarna merah.
Bantuan datang dari seorang perwira Jepang yang simpatik, Shimizu namanya. Bung Karno minta dia mengeluarkan dua gulungan kain katun berwarna merah dan putih dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air nomor 49. Kain ini kemudian diserahkan kepada Ibu Fatmawati.
Bu Fatmawati dalam keadaan yang tidak mudah. Kondisinya hampir sama dengan ibu pertiwi. Sedang hamil tua, kira2 dua minggu sebelum kelahiran putera pertama yang di kemudian hari bernama Guntur Soekarno Putera.
Dalam keadaan perut yang membesar, duduk lama2 pun sebenarnya sudah tak mudah. Apalagi harus berjam-jam menjahit kain dengan ukuran 2×3 meter. Tapi Bu Fatmawati ngotot melakukannya sendiri. Entah siapa yang akan duluan melahirkan. Siapa tau besok hari Indonesia Merdeka. Sekali lagi, jangan sampai Indonesia merdeka tanpa punya bendera.
Dokter melarang Bu Fatmawati menjahit dengan mesin jahit yang digoyang dengan kaki. Khawatir soal kehamilannya yang semakin matang. Jadilah Bu Fatmawati menjahit bendera ini dengan mesin Singer yang diputar sedikit demi sedikit menggunakan tangan. Ya dengan tangan, dan butuh dua hari menyelesaikan bendera dengan ukuran 2 x 3 meter ini.
Bendera selesai Bu Fatmawati menarik napas lega. Beliau bisa istirahat sambil menunggu kelahiran anak pertama.
Bendera hasil karya Ibu Fatmawati ini yang kemudian kita tetapkan sebagai bendera pusaka. Bendera yang dinaikkan pertama kali oleh Latif Hendradiningrat dan Suhud di halaman Pengangsaan Timur nomor 56 di tanggal 17 agustus 1945.
Bendera ini juga jadi saksi bisu timbul tenggelamnya Indonesia di awal2 kemerdekaan. Dijaga dan disembunyikan secara berantai, berpindah-pindah tempat karena agresi militer Belanda. Setiap kali pusat pemerintahan Indonesia berpindah, bendera ini ikut pindah dengan perlindungan nyawa para pejuang2 Indonesia.
Bendera pusaka terakhir kali dinaikkan di tahun 1968. Karena kondisinya yang makin lama dimakan usia, dia dipensiunkan dari tiang bendera. Tetap ikut dibawa oleh Paskibraka di setiap tanggal 17 agustus, tapi kini duplikatnya yang gantian mengudara. Anak cucunya mengudara di seantero republik indonesia, terutama di bulan kemerdekaan. Ukurannya bisa saja beragam rupa, tapi warnanya sama, merah putih.
Meski kekuasaan/orde datang dan pergi silih berganti, bendera kita tetap merah putih. Tidak ditambah, dikurangi, apalagi diganti. Kalaulah dada kita dibelah, harusnya isinya juga merah putih yang sama. Dari sabang sampai merauke sudah begitu, tetap begitu, dan akan begitu selama Republik Indonesia berdiri. Merah putih, atas alasan apapun, atas dasar kreatifitas dan kebebasan berekspresi sekalipun, tidak boleh diganti.
Bendera Merah Putih itu bukan buat gaya.
Dia simbol negara. Bendera yang punya cerita dan makna. Dipertahankan dengan darah dan air mata.
Hasan Nasbi