SURABAYA, TelusuR.ID – Dugaan kejahatan by desain atau kejahatan yang direncakan, nampak begitu kuat mengiringi alur cerita dugaan korupsi sebesar Rp 40,9 milyar dari Rp 65 milyar dana hibah PJU TS Pemprov Jatim tahun anggaran 2020 yang saat ini masuk ranah pemeriksaan Kejari Lamongan.
Sebagai penerima dana hibah, nampak dengan terang bahwa Pokmas hanyalah boneka yang dimainkan oleh oknum aktor intelektual.
Konyolnya, Pokmas yang mestinya jadi subyek dan pengendali proyek hibah, malah sekedar “kecipratan” secuil rupiah hasil mark up anggaran. Sejatinya bukan kecipratan, tetapi dana yang diterima untuk alokasi pemasangan tiang PJU TS.
Hari ini, cipratan kue korupsi itu nampak tidak berbanding lurus dengan resiko yang mengancam. Dengan hanya mengantongi Rp 1,5 juta dari Rp 22,7 juta per titik PJU TS yang diduga dikorup, Pokmas diminta turut mempertanggungjawabkan dana hibah yang menguap dan dinikmati pihak lain tersebut.
Tercatat, pada Senin dan Selasa (7 dan 8 Februari 2022) lalu, sebanyak 20 Pokmas penerima dana hibah PJU TS di Kabupaten Lamongan diperiksa Kejari. Tidak ada keterangan resmi terkait hasil pemeriksaan tersebut.
Yang terjadi, sebagian Pokmas malah memilih tidak memenuhi panggilan Kejari dengan alasan yang belum diketahui. Karenanya, Kejari siap melayangkan panggilan kedua.
Pada lembar analisa kasus oleh BPK disebutkan, posisi Pokmas dalam kasus ini benar-benar hanya boneka. Ia ada karena dibentuk dadakan. Ia ada karena ada aktor yang melempar petunjuk dan perintah.
Bahkan keberhasilan mendapat kucuran dana hibah PJU TS dari Pemprov Jatim bukan buah tangan Pokmas, melainkan hasil kerja tim Koordinator Kecamatan.
Kenapa muncul istilah Koordinator Kecamatan? Bukankah ini patut disebut sebuah kejanggalan? Lazimnya penyaluran dana hibah kepada Pokmas atau lembaga kemasyarakatan yang lain yang berbadan hukum, posisi Pokmas seyogyanya mandiri dari pengaruh pihak ketiga.
Karena mekanisme pengajuan hibah kepada Pemerintah hanya bersyaratkan lembaga masyarakat yang berbadan hukum. Hanya itu. Tidak perlu ada Koordinator Kecamatan atau pihak ketiga yang lain.
Pada kasus ini, peran dan fungsi Pokmas seperti dinisbikan. Awalnya adalah reses anggota DPRD Jatim dapil Lamongan. Dari reses itu muncul petunjuk pembentukan Pokmas untuk pengajuan hibah PJU TS.
Sekelompok warga di sejumlah desa lantas mengorganisir diri. Hanya itu. Selebihnya, bagaimana sekumpulan warga layak disebut Pokmas, itu menjadi domain pihak Koordinator Kecamatan.
Laporan BPK menyebutkan, mulai urusan mendapatkan SK Kepala Desa, rekomendasi Camat, pembuatan stempel, penyusunan pengurus, hingga pembuatan proposal hibah PJU TS, semua dikerjakan oleh Koordinator Kecamatan.
Termasuk, ketika RAB pada proposal mematok harga satu titik PJU TS senilai Rp 40 juta (seharusnya hanya Rp 17 juta), Pokmas terbilang tidak tahu apa-apa, kecuali hanya pembubuhan tandatangan pada proposal.
Olah dokumen secara uji petik yang dilangsungkan BPK dengan cara mendatangi Pokmas, Koordinator Kecamatan, dan pihak Penyedia yaitu PT S, menyebutkan, bahwa dari 247 proposal Pokmas yang lolos verifikasi terdapat satu kesamaan.
Mulai gaya bahasa, pilihan kalimat, penyusunan RAB, bahkan coretan kalimat yang salah. Yang membedakan hanya nama Pokmas dan bubuhan tandatangan. Dan itu dipastikan buah kerja satu pihak, yaitu Koordinator Kecamatan.
Seorang sumber menyebut, tim koordinator Kecamatan sejatinya adalah kepanjangan tangan dari salah satu partai politik. Hanya sampai berita ini ditulis, kevalidan informasi tersebut belum terkonfirmasi.
Lepas dari aroma politik dan nuansa proyek by desain yang begitu kental, layakkah Pokmas yang tidak tahu apa-apa dan hanya menerima ongkos pemasangan tiang PJU TS tersebut harus menanggung pengembalian Rp 40,9 milyar uang negara ke Kas Daerah? (din)